Fenomena Pembakaran Al-Quran di Swedia Berdasarkan Pendekatan Konstruktivis Hubungan Internasional

NASIONAL || Kondisi dunia yang semakin mengglobal membuat gerakan dan aksi yang dilakukan oleh masyarakat menjadi lebih beragam.

Melihat bahwa panggung politik global saat ini tidak hanya diperankan oleh aktor negara yang berdaulat saja, melainkan aktor non-negara seperti individu, kelompok elite, organisasi internasional, dan aktor non-negara lainnya juga memiliki hak untuk mengambil peran.

 

Namun, di samping esensi penting yang dimilikinya, beberapa aksi dan pergerakan yang muncul dapat memicu kontroversi yang akhirnya berdampak fatal bagi kedamaian kehidupan manusia.

 

Di samping itu, tidak semua dampak yang diakibatkan oleh aksi-aksi tersebut mendapatkan reaksi oleh masyarakat global secara objektif. Reaksi publik terhadap peristiwa pembakaran Al-Quran merupakan bukti nyata yang dapat menggambarkan fenomena tersebut.

 

Peristiwa pembakaran Al-Quran di Swedia yang terjadi beberapa waktu lalu, telah berhasil mengundang kemarahan umat muslim dunia, Peristiwa kontroversial yang terjadi pada 21 Januari 2023 tepatnya di dekat kedutaan besar Turki di Kota Stockholm, merupakan aksi yang didalangi oleh seorang politisi anti imigran bernama Rasmus Paludan.

 

Terlebih lagi, sangat disayangkan bahwa aksi keji yang dilakukan Paludan bersama kelompoknya, telah mendapatkan persetujuan dari polisi setempat. Paludan berdalih bahwa pembakaran Al-Quran yang ia lakukan adalah bentuk upayanya untuk mengkritik NATO (North Atlantic Threaty Organization), Turki, sekaligus Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan terkait pengaruhnya terhadap kebebasan berekspresi di Swedia.

Baca juga:  Antisipasi Banjir di Musim Penghujan, Warga Bersama TNI di Ngimbang Bersihkan Saluran Air

 

Paludan pun masih berada di bawah lindungan hak kebebasan berpendapat terhadap aksi tercela yang dilakukannya.

 

Aksi pembakaran Al-Quran oleh Rasmus Paludan, tentu memunculkan pertanyaan penting tentang bagaimana kita mampu menyeimbangkan kebebasan berpendapat dengan hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Dalam konteks Hubungan Internasional (HI), teori konstruktivisme merupakan pendekatan yang tepat untuk menganalisis fenomena tersebut.

 

Konstruktivisme merupakan perspektif yang mempercayai bahwa aspek sosial memiliki efektivitas dalam memengaruhi dinamika praktik politik global. Selain itu, konstruktivis memiliki pandangan terhadap hakikat dunia sosial dalam studi HI dengan menganut Premis konstruksi sosial.

Premis tersebut menyatakan bahwa individu dan kelompok merupakan aktor yang berperan dalam menciptakan lingkungan tempat mereka berinteraksi.

 

Bila ditinjau berdasarkan pendekatan konstruktivisme, pemahaman sosial terhadap kebebasan berpendapat dan agama dapat membentuk hasil yang berbeda dalam menanggapi peristiwa pembakaran Al-Quran di Swedia. Hal tersebut bergantung pada aspek manakah yang lebih dijunjung oleh masyarakat.

Jika masyarakat melihat bahwa aspek kebebasan berpendapat merupakan hal yang penting, maka tindakan pembakaran Al-Quran akan dianggap sebagai bentuk ekspresi kebebasan berpendapat. Sebaliknya, bila masyarakat melihat agama sebagai nilai yang penting, maka peristiwa pembakaran Al-Quran akan dikategorikan sebagai bentuk penistaan agama.

Baca juga:  Serunya Lomba Naik Bambu di Duduksampeyan Gresik, Memeriahkan Hari Kemerdekaan. 

Namun, di sisi lain paham konstruktivisme juga menunjukkan bahwa pemahaman sosial masyarakat terhadap nilai-nilai tersebut tidak selalu konsisten.

Sebagai contoh, merebaknya aksi pembakaran bendera LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender), cenderung didefinisikan sebagai tindakan yang homophobic dan ketika bendera Israel dibakar maka akan disebut sebagai antisemitisme.

Namun, hal yang memprihatinkan terutama bagi umat muslim adalah ketika Al-Quran dibakar sering kali tidak ada yang berkomentar dan tindakan tersebut dibenarkan dengan dalih bahwa semua orang memiliki kebebasan berpendapat.

 

Dalih kebebasan berpendapat yang menyelamatkan Rasmus Paludan, tentu tidak dapat dikatakan sebagai hak kebebasan berpendapat yang sah. Para konstruktivis menyatakan bahwa nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat dapat saling bertentangan dan memerlukan negosiasi guna mencapai kesepakatan yang memadai.

Selain itu, tindakan pembakaran Al-Quran di Swedia yang dipelopori oleh Rasmus Paludan dapat mencerminkan bahwa aspek sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat juga ditentukan oleh interaksi sosial dan peranan lembaga-lembaga internasional.

 

Pembakaran Al-Quran merupakan tindakan yang melanggar norma-norma sosial yang telah dibangun dalam masyarakat global.

 

Namun, tindakan ini juga dapat menjadi bagian dari konstruksi norma-norma baru yang lebih menghargai kebebasan beragama dan menghormati kepercayaan orang lain.

Baca juga:  Polemik Al Zaytun, Belum Ada Kabar Pemanggilan Panji Gumilang

 

Berdasarkan teori konstruktivisme, identitas juga memiliki peran penting dalam membentuk tindakan dan perilaku aktor-aktor dalam hubungan internasional. Identitas mencakup pandangan-pandangan dan keyakinan yang dimiliki oleh suatu kelompok atau individu, yang terbentuk melalui interaksi sosial.

 

Identitas dapat mempengaruhi pandangan seseorang terhadap tindakan pembakaran Al-Quran tersebut. Misalnya, orang yang identitasnya kuat sebagai Muslim mungkin akan merasa tersinggung dan memberikan tanggapan keras terhadap tindakan tersebut.

 

Begitu juga dengan fenomena pembakaran bendera LGBT dan Israel, di mana identitas yang berlaku di masyarakat juga mempengaruhi pandangan dan reaksi terhadap tindakan tersebut.

 

Secara keseluruhan, teori konstruktivisme dalam Hubungan Internasional dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang fenomena pembakaran Al-Quran di Swedia dan perbedaan perlakuan terhadap pembakaran bendera LGBT, bendera Israel, dan Al-Quran.

 

Melalui konsep-konsep seperti norma-norma sosial, identitas dan pengaruh lingkungan, teori konstruktivisme dapat menjelaskan bagaimana konsep-konsep sosial seperti agama dan kebebasan berpendapat dapat berkembang dan berubah dalam masyarakat global.

 

Reaksi masyarakat dalam menyikapi fenomena pembakaran Al-Quran merupakan bukti nyata yang dapat menggambarkan bagaimana kemampuan masyarakat dalam menyeimbangkan hak kebebasan berpendapat dengan hak kebebasan beragama.

 

Penulis : Cheryl Najah Auriva

Redaksi : Chindra Aprillia