YOGYAKARTA || Sebuah warung kecil di ujung jalan R.E Martadinata dikepung gerimis. Di tengah rintik hujan, sepeda motor bebek tua dari era 90-an mendekat ke halaman depan warung. Turun dari kendaraan itu, sosok Heri Purwanto, berpakaian surjan lengkap dengan blangkonnya.
Seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta bernama Heri hendak membeli keperluan ritual di warung yang memasang plang dengan nama mencuri perhatian siapapun yakni bertuliskan Warung Makanan Roh Halus. Barang-barang yang dijual oleh kios langganannya ini menurut Heri sangat penting untuk pelaksanaan bermacam prosesi ritual keraton yang rutin dijalankan nyaris setiap hari. Terutama pasokan bunga-bunga semacam kantil, kamboja, dan mawar merah maupun putih yang digemari roh halus untuk melancarkan upaya manusia berkomunikasi dengan mereka.
“Memang banyak yang jual semacam ini di Yogya, tapi kalau di sini beda,” kata Heri. “Bunganya masih segar dan wanginya awet.”
Kepercayaan dan cara membangun hubungan dengan mahluk gaib, salah satu bagian dari praktik kejawen, masih bertahan sampai sekarang. Survei menunjukkan 69 persen penganut Islam di Indonesia meyakini ilmu gaib. Salah satu pusat spiritualitas tradisional itu adalah Yogyakarta, pusat kebudayaan Jawa.
Namun, lambat laun, modernitas serta pengaruh Islam menggerus jumlah penduduk yang mempercayai kepercayaan tradisional yang kerap dijuluki klenik itu. Bambang berpikir untuk berhenti, karena jumlah pembeli bunga dan kemenyan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa haram untuk praktik-praktik klenik, termasuk santet, karena bertentangan dengan aqidah Islam. (iwan)
Fakta Warung Roh Halus, Sebuah Toko Nyentrik di Jogja
