Kabupaten Gresik || Jawa Timur, menghadapi tantangan serius dalam penyerapan tenaga kerja, dengan jumlah pengangguran yang terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir.
Berdasarkan pantauan terbaru dari lembaga pemantau ketenagakerjaan lokal, lebih dari 8.000 pencari kerja di Gresik belum terserap ke sektor formal maupun informal, angka yang disebut sebagai yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Salah satu faktor krusial yang disoroti adalah kurang efektifnya fungsi bursa lowongan pekerjaan yang dikelola pemerintah daerah.
Meski platform tersebut tersedia secara daring dan luring, masyarakat mengeluhkan minimnya sosialisasi, pembaruan informasi yang lambat, serta kesenjangan antara kualifikasi lowongan dan kompetensi mayoritas pencari kerja.
Sejumlah pencari kerja yang diwawancarai mengungkapkan, mereka lebih sering mengandalkan jaringan pribadi atau platform komersial karena informasi di bursa resmi cenderung tidak akurat atau kedaluwarsa.
“Saya sudah mendaftar lewat bursa kerja online milik pemkab selama enam bulan, tapi tidak ada panggilan.
Padahal, saya lulusan D3,” ujar Ahmad (28), warga Kecamatan Kebomas. Di sisi lain, pelaku usaha juga menyayangkan koordinasi yang lemah antara dinas terkait dan industri, sehingga program pelatihan vokasional tidak selaras dengan kebutuhan pasar.
Pakar ekonomi lokal, Dr. Siti Rahayu, menekankan bahwa perbaikan sistem bursa kerja harus menjadi prioritas. “Efektivitas bursa lowongan tidak hanya soal jumlah informasi, tapi juga kecepatan, akurasi, dan pendampingan bagi penganggur. Integrasi data dengan perusahaan serta pelatihan berbasis kebutuhan industri sangat mendesak,” paparnya.
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gresik menyatakan akan melakukan evaluasi menyeluruh, termasuk meningkatkan kerja sama dengan perusahaan besar di kawasan industri dan mengoptimalkan pelatihan digital. Namun, langkah konkret masih dinanti masyarakat yang semakin frustasi.
Dampak sosial dari tingginya pengangguran ini mulai terasa, seperti meningkatnya kasus kriminalitas ringan dan tekanan psikologis di kalangan pemuda. Pemerintah daerah didesak segera merancang strategi jangka pendek, seperti proyek padat karya lokal, sembari memperbaiki sistem jangka panjang untuk mencegah “lost generation”.